Dongeng

 Warisan Bumi

Pagi cerah merekah, memancarkan semburat warna kuning oranye di ufuk timur. Burung berkicau saling memanggil satu sama lain, terkadang mereka bersembunyi dibalik dedaunan rimbun. Ayam berkokok dengan kekuatan suaranya yang mampu membangunkan semua yang sedang tertidur. Gemuruh ombak saling mengejar dengan lambai, mampu menghadirkan ketenangan. Air terus mengalir dari sumber menjadi inti kehidupan makhluk hidup.

Bunga-bunga mulai bernyanyi sembari menunjukan keindahan yang tiada taranya. Harumnya mampu memabukan setiap orang yang menghirupnya. Keindahannya mampu memikat hati setiap orang yang melihatnya. Pesonanya bahkan mampu membuat mata tak sanggup tuk beralih pandang dari keindahan sekuntum bunga.  

Angin bertiup mampu membuat pohon bergoyang. Yeah, mereka bergoyang dengan bebas. Layaknya manusia melakukan senam di pagi hari, seperti itu pula pohon menyehatkan tubuh mereka. Kini, pohon yang kokoh dengan dedaunan yang rimbun itu terus bergerak, terkadang dedaunan itu mewakili bagian pohon lainnya tuk saling menyapa tumbuhan disekitar mereka. Huh, sungguh menakjubkannya alam ini.

“Hai Mawar Putih, kau semakin bertumbuh dengan subur pagi ini. Daun dan bunga mu terlihat lebih segar dari biasanya” Ucap sekuntum Melati

“Hai Melati, kau juga terlihat lebih segar tapi ___” Ucap Mawar Putih terjeda

“Tapi ___” Ulang Melati dengan rasa penasaran akan kelanjutan kalimat Mawar Putih

“Wangi bunga mu hari ini membuat ku sedikit mual” Ucap Mawar Putih berhati-hati agar temannya tidak tersinggung dengan apa yang ia ucapkan

“Sudah ku duga kau akan mengatakan hal itu. Tapi ____” ucap Melati dengan sengaja menjeda bagian akhirnya agar Mawar Putih penasaran. “Mengapa kau tak bertanya?” tanya Melati setelah menunggu respon penasaran dari Mawar Putih yang tidak ia dapatkan

“Apa yang harus ku tanyakan?” ucap Mawar Putih dengan polosnya

“Sambungan kalimat ku. Aku dengan sengaja menjeda agar kau penasaran dan bertanya. Tapi nyata nya___” Ucap Melati

“ Oh, haruskah ku tanyakan? Tapi aku tak penasaran, karena ku tahu kau akan melanjutkan kalimat mu”

“Ya sudahlah, biar ku lanjutkan saja” Ucap Melati setelah menyadari kepolosan temannya

“Jadi apa kelanjutannya?”tanya si Mawar Putih

“Yang membuat mu mual bukan bau bunga ku tapi  bau kotoran Burma yang sedang berada di belakang mu”

“Oh. Hai Mawar Putih, hai Melati. Maafkan aku karena membuat kalian tak nyaman” Ucap Burma, seekor kucing dari ras Burmese 

“Tenang saja. Kau pasti punya alasan terkait kejadian ini” Ucap Melati yang membuat wajah Si Burma sedikit lega meskipun wajah belum terlihat bahagia seperti hari-hari sebelumnya

“Sudahlah tak usah bersedih lagi. Mawar Putih benar, kami sudah memaafkan mu” Ujar Melati. Ia berpikir bahwa Burma masih memikirkan ketidaksengajaan yang perbuat. “Atau adakah hal lain yang membuat mu bersedih?” Sambung Melati setelah menyadari sesuatu yang tak jelas ia ketahui.

“Yeah, apakah ada hal lain yang membuatmu bersedih?”

“ Masihkah kalian mengingat Siam, kucing dari ras Siamese?” Ucap Burma setelah beberapa saat terdiam.

“Kami mengingatnya” Ucap Melati dan Mawar bersamaan. “Kalian sering menghabiskan waktu bersama untuk berkeliling dan tahukah kau? Kami selalu bahagia melihat persahabatan kalian. Tapi mengapa hari ini kau tak bersama dengannya?”

“Itulah yang membuat ku sedih. Kami takkan bisa seperti dulu lagi” Ucap Burma sedikit terjeda dengan air mata yang mulai mengalir. Meskipun demikian, Burma tetap berusaha tuk menyelesaikan kronologi kematian Siam yang ia saksikan secara langsung.

“Kami ikut sedih dengan kepergian Siam. Semoga ia bahagia di alam barunya” Ujar Mawar Putih yang kini larut dalam suasana haru

“Jika hal seperti ini terus terjadi, akankah keindahan dan keberagaman bumi ini tetap dirasakan anak cucu kita?” Ucap Melati

“Entah mengapa, aku meragukannya” sambung Mawar Putih

“Dengan kejadian seperti ini, aku bahkan khawatir, di masa depan keturunan ku hanya sejarah yang bisa dipandang melalui sebuah potret” Ucap Burma. “Tapi ku harap ini hanya sebatas mimpi buruk” Sambung Burma sebelum akhirnya berpamitan tuk kembali ke rumah.

Hari mulai berganti. Bumi terus berputar. Alam terus berteriak meminta kepedulian manusia namun jeritan dan teriakan itu tak dihiraukan. Banyak hewan mulai lenyap sebelum waktunya. Dibeberapa tempat, udara segar tak lagi bisa tuk dirasakan, bintang tak lagi terlihat, terumbu karang mulai hilang, polusi udara bahkan mampu menimbulkan kekhawatiran namun tak mampu menumbuhkan kesadaran. Tanah mulai tercemar oleh banyaknya sampah sedangkan tempat sampah hanya dijadikan sebagai hiasan jalan. 

“Melati, tolong bantu aku” teriak si Mawar Putih yang membuat Melati terbangun dari tidurnya. Namun sayangnya, Mawar Putih tak lagi bisa terselamatkan. Kelopak bunga Mawar Putih telah terpisah dari batangnya. “Ahhhh, sakit sekali” Jeritan Si Mawar Putih saat mahkota bunganya mulai dipisahkan dari kelopaknya. “Sampai kapan kalian berbuat seperti ini?” Teriakan terakhir Si Mawar Putih sebelum akhirnya tangkai dan kelopaknya diinjak lalu ditinggalkan. Teriakan terakhir yang membuat Melati tak lagi sanggup tuk mendengar dan melihat kondisi sahabatnya.

“Hai, Melati. Mengapa bunga mu mulai layu, dan dimana Mawar Putih? Aku tak melihatnya?” Ujar Burma menghampiri Melati, kali ini wajahnya lebih berseri dibanding hari sebelumnya. “Apa kau baik-baik saja” Sambung Burma tuk memastikan keadaan Melati. Namun setelah beberapa saat berlalu, ia menyadari akan suatu hal. Yeah, ia tersadar saat melihat mahkota dan tangkai bunga Mawar Putih yang sedikit tertimbun oleh tanah. “Apakah anak manusia yang tadi kutemui itu yang membuat hal ini?” Tanya Burma dengan intonasi suara yang mulai tinggi namun tetap saja tak ada jawaban yang Melati keluarkan. Hingga Ia pun  tersadar lagi, kini mahkota bunga Melati mulai berguguran, batangnya mulai layu, dan tak ada lagi Melati yang berbincang bersamanya diwaktu lalu. 

Dalam sekejap Burma hanya diam membisu melihat kondisi kedua teman yang menguatkan dirinya saat ia kehilangan Siamese dan kini ia pun harus kehilangan keduanya. Entah sudah berapa jam ia hanya duduk termenung dengan air mata yang terus mengalir sebelum akhirnya teriakan sebuah pohon dari arah sungai yang membuatnya tersadar kembali.

“Aku tahu penyebab kematian teman mu” Teriak Pohon Trembesi. “Coba lihatlah tanah bagian batang Melati itu tumbuh” Ujar Trembesi sekali lagi yang membuat Burma langsung menggali tanah di sekitar batang Melati dengan cakarnya. Menggali, menggali, dan terus menggali. Sekitar lima menit berlalu saat Burma akhirnya menyadari bahwa akar Melati terjebak diantara sampah plastik. Kini satu lagi realita mengenaskan yang membuat dirinya sangat membenci  manusia.

“Sudahlah, kemarahanmu takkan merubah keadaan”Ujar Trembesi memperingati. “Lagi pula, kamu kan di kenal sebagai kucing yang menggemaskan sehingga saat marah pun tak ada yang menyadarinya” Kalimat yang sengaja dikeluarkan Trembesi dengan harapan Burma bisa menenangkan dirinya. “Sekarang kemarilah, akan kutunjukkan sesuatu” Ajakan Trembesi namun sedikit terjeda. Bukan karena Burma tak mau tetapi karena Ia masih menguburkan kedua temannya.

“Aku akan berusaha agar kehidupan generasi kita tak berakhir seperti ini” Ucap Burma sebelum akhirnya pergi menghampiri Trembesi yang masih berada pada tempatnya.

“Sekarang kau lihatlah disana” ucap Trembesi sambil mengarahkan rantingnya ke arah sekelompok manusia yang sedang membersihkan area sungai yang mulai tercemar oleh sampah plastik. “Aku tahu kau membenci manusia yang suka mencemari lingkungan. Tapi sekelompok manusia itu membuktikan bahwa tidak semua manusia melakukan hal yang sama” ujar Trembesi sambil mengingat kembali tindakan protesnya yang dulu ia lakukan pada manusia. 

“Tetap saja, semua manusia sama” Sambung Burma yang masih dipenuhi dengan amarah

“Aku hidup lebih lama dari mu. Aku sudah melihat banyak perbedaan dalam dunia ini. Percayalah, masih ada manusia yang peduli dengan lingkungan ini. Yeah, meskipun semakin hari kemungkinannya semakin kecil”

“Tapi, tetap saja” Ucap Burma bersikeras 

“Sudahlah, tak usah terlalu larut dalam kemarahan. Itu takkan merubah realita. Lebih baik sekarang ambillah tindakan yang lebih bijak yang bisa dimengerti oleh manusia bukan dengan kemarahan”

“Percuma saja, mereka takkan mengerti dengan ucapanku”

“Karena itulah, aku menyuruhmu untuk lebih bijak dalam mengambil tindakan” Ucap Trembesi menasihati

“Baiklah. Sekarang aku tahu apa maksudmu”

“Baguslah. Kalau begitu langsung saja dikerjakan, itu lebih membantu dibanding hanya marah tapi tak ada tindakan yang kau lakukan”Ucap Trembesi namun sedikit terjeda.

“Akan ku lakukan” Ujar Burma sambil melangkah menjauhi Trembesi

“Jangan lupa kembali” Ucap Trembesi 

Kini langkah Burma semakin dekat dengan manusia namun keraguan membuat langkahnya melambat.

“Percayalah, mereka takkan menyakitimu” Satu kalimat yang dikeluarkan Trembesi itu mampu membuat keyakinan Burma bertambah dan sekarang ia pun mulai memungut sampah menggunakan taringnya. Satu tindakan awal yang mampu mencuri perhatian para pekerja bahkan aksinya di publikasikan sebagai contoh tindakan melindungi alam. 

“Aku akan pergi. Sekelompok manusia itu akan membawaku tuk mengerjakan projek mencintai lingkungan di tempat yang lain”Ucap Burma ragu-ragu.”Ku harap ini keputusan yang tepat”

“Yeah, aku mendukung keputusanmu. Sekarang ambillah salah satu ranting ku. Itu akan membantu mu jika kau harus mengambil sampah pada bagian yang sulit terjangkau. Sekarang ambil dan pergilah. Manusia itu sudah memanggilmu”

“Aku akan merindukanmu”

Semenjak saat itu, Burma terus bekerja selama sepuluh tahun sebelum akhirnya ia pun pergi menyusul dunia baru yang telah didahului oleh Siam, Mawar, dan Melati. Kini, ia dikuburkan bersama dengan ranting kecil yang selalu ia bawa pemberian dari temannya, Trembesi. Entah sedikit berlebihan atau tidak namun itulah realita yang dilakukan oleh kelompok pecinta alam. Mereka dengan sengaja memasang batu nisan pada kediaman terakhir Burma yang bertulisan Dengarlah Jeritan Ini, Alam Menolak Pencemaran Lingkungan.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Renungan Hari Ini